Tragedi
Dua Puluh Ribu
Kembali, kami kembali
menuju ke kampus dua. Kampus dua bukan berarti kampus kedua tempat kami kuliah.
Kampus kedua lebih tepatnya tempat nongkrong kami selepas kampus, atau sekedar
pengisi waktu ketika kuliah kami pagi-sore. Jeda waktu yang cukup lama dari jam
sepuluh pagi sampe jam tiga sore, bolehlah kami manfaatkan untuk menjauh dari
kampus sejenak. Kami tidak memanfaatkan waktu itu untuk pulang ke rumah karena
jarak rumah kami yang lumayan jauh dari kampus, jika kami pulang ke rumah, maka
waktu akan habis dimakan perjalanan.
Hari itu kami putuskan
untuk menuju kampus dua. Mall yang jaraknya lumayan dekat dari kampus kami,
sudah ditetapkan sebagai kampus dua oleh pendahulu-pendahulu kami. Kami pun
menyatakannya demikian. Kuliah kami dimulai jam delapan pagi dan berakhir jam
sepuluh pagi, kemudian kuliah selanjutnya baru akan dimulai pukul tiga sore
nanti. Memanfaatkan jeda waktu yang panjang itu, maka yang ada dibenak kami
hanya kampus dua.
Mendengar tempat
nongkrong kami, mungkin sebagian orang akan menganggap kami sebagai orang yang
suka hura-hura atau jenis orang yang boros, tapi sesungguhnya kami tidak seperti
itu, bahkan bisa dibilang kami sedikit perhitungan untuk masalah keuangan.
“Kuliah sudah selesai,
tapi masih ada jam 3 sore nanti”
“iya, nda mungkin kan
kita balik ke rumah dulu, capek di jalan nantinya”
“So? Ngampus dua?”
“Hmmmm, boleh lah,
daripada nongkrong nda jelas di kampus”
“Memangnya ada tempat
nongkrong di kampus?”
“Tuh, gazebo, atau
kantin”
“Gazebo? Bentar lagi
penuh dengan asap rokok. Betah lama-lama penuh asap rokok? Kantin? Mau diusir?
Banyak yang ngantri mau makan di sana nanti, emangnya cuma kamu aja yang mau
makan di sana”
“Ya sudahlah, kita ke
kampus dua saja”
“Baiklah, let’s go!!!”
Akhirnya kami menuju kampus
dua. Rencana di kampus dua, belum ada. Kami jenis orang yang malas merencanakan
perjalanan, karena ketika kami merencanakan perjalanan, lebih banyak tidak
jadinya daripada jadinya. Masih pagi, masih sepi, mall baru buka, kami jadi
penghuni yang masih bisa dihitung pake jari tangan kamu, kamu, kamu, dan kamu.
Mungkin.
“Ok, kita mau kemana
sekarang?”
“Hmmm, pergi makan,
tapi masih pagi, belum lapar”
“Gimana kalo kita ke
toko buku saja dulu, lumayan, bisa baca komik gratis”
“Bolehlah, sambil
nunggu perut keroncongan”
Menujulah kami ke toko
buku yang kala itu masih sepi. Lia, sahabat yang baru akrab ketika kami berada
pada fakultas yang sama, jurusan yang sama dan kelas yang sama. Kami sudah
berteman sejak SMA, tapi baru akrab ketika berada dibangku kuliah. Wajarlah,
dia dulu berada di kelas IPA sedangkan saya IPS, jadi kami tidak begitu akrab
dulu. Lia pecinta komik. Lia bisa menghabiskan waktu berjam-jam uuntuk membaca
beberapa komik dan sinopsis komik (kalau waktunya sedikit) dan membeli lima
sampai sepuluh komik kalau sudah nginjakin kakinya di toko buku. Di rumahnya,
Lia punya lemari khusus untuk menyimpan puluhan atau mungkin ratusan komiknya.
Kadang Lia bahkan tidak sadar membeli komik yang sudah ada dalam lemari
ajaibnya itu. Mungkin karena terlalu banyak membeli komik dalam satu waktu dan
tidak sempat membaca semuanya, kadang ada beberapa komik yang bahkan sama
sekali belum pernah dibacanya, makanya kadang Lia beli kembaran komik yang
sudah dikoleksinya.
Setibanya di toko buku,
seperti biasa Lia langsung menuju ke stand komik. Tika, sahabat yang paling
sering ngajak saya jalan juga ngikut, bukan ngikut, lebih tepatnya, Tika yang
ngajakin kita nongkrong di kampus dua. Tika juga pecinta komik, tapi tidak
semaniak Lia, saya pun demikian. Ada keuntungan buat kami dengan kebiasaan Lia
mengoleksi komik, setelah Lia baca komiknya, kami boleh meminjamnya. Setiap
datang ke rumahnya, isi lemari ajaibnya yang me-nina bobo kan kami. Ya, kami
bahkan tidur bersama komik. Kami langsung diam membisu membaca dalam hati,
berkonsentrasi dengan bacaan kami masing-masing. Padahal itu hanya komik.
Setelah hampir satu
setengah jam kami membaca, perut kami mulai keroncongan, tapi tetap saja, komik
terasa lebih menarik daripada makan kala itu. Dua jam berlalu, cacing di perut
kami mulai demo. Akhirnya dengan sangat terpaksa dan tanpa kerelaan hati,
mulailah kami melangkah meninggalkan toko buku, tapi tidak lupa, Lia tinggal
sejenak di kasir membayar lima komik yang berhasil menghipnotis dirinya untuk
membawa komik itu masuk ke lemari ajaibya.
“Makan dimana?”
“Pertanyaan pertama,
bukan makan dimana, perjelas dulu kita mau makan apa?”
Kami jenis orang yang
agak ribet saat menjelang jam makan siang, kadang butuh waktu berjam-jam untuk
bisa menentukan jenis makanan yang akan kami makan dan tempat makan yang akan
kami tuju.
“Ok, kita mau makan
apa?”
“Hmmm, makan apa ya?
Empek-empek? Mie ayam? Soto?”
“Hmmm, kalo’ ada ainul,
pasti K*C... hahahaha...”
“Mie ayam jamur saja,
tempat biasa, kenyang dengan rasa bintang lima dan harga kaki lima, gimana?”
“Iya..iya..disitu saja,
sudah lama juga nda makan di sana”
Menujulah kami ke
tempat makan yang biasa, bukan resto, bukan di food court juga, bukan cafe, lebih mirip warung kecil di tengah
megahnya mall. Entah kenapa sejak kami makan di sana pertama kali, tempat duduk
kami selalu sama, di posisi yang sama. Saat kami baru datang, warungnya selalu
sepi, bahkan tidak ada pengunjung, tapi begitu kami duduk menunggu pesanan,
pelanggan yang lain mulai berdatangan. Mungkin bisa dibilang kami keberuntungan
untuk warung itu. Narsis mode on.
Seperti biasa, dari
beberapa menu yang tersedia di sana, kami selalu hanya memesan satu jenis menu
yang sama “mie ayam jamur”. Bahkan pelayan di sana mungkin mulai hafal dengan
wajah dan pesanan kami. Mie ayam jamurnya tersedia dalam porsi besar, hanya
dengan membayar lima belas ribu rupiah seporsi, kami sudah bisa kekenyangan. Mie
ayam jamur dibuat terpisah dengan kuahnya, diberi sayuran, potongan ayam dan
jamur yang dimasak kecap, di tambah pangsit goreng dan bakso goreng yang ketika
direndam di kuah dan digigit, tengahnya mengeluarkan sensasi “nyeess”, seperti
apa ya menjelaskannya, ditengahnya itu seperti ada isian yang lembut, yang
entah apa itu, mirip mayo, tapi bukan mayo. Silahkan dicoba sendiri jika
penasaran.
Akhirnya pesanan kami
datang. Kami pun mulai meracik makanan masing-masing. Walaupun jenis pesanan
kami sama, tapi cara kami menikmati makanan itu berbeda-beda. Tika meracik
makanannya dengan menuangkan semua kuahnya ke mangkuk mie, kemudian
mencampurnya dengan menambahkan jeruk, kecap, dan setitik sambal. Maklum, tika
tidak tahan dengan sambal, sedikit saja sambal yang digunakannya berlebih, dia
langsung kepedisan. Lia hanya menuangkan setengah mangkuk kuahnya ke mangkuk
mie, setengahnya lagi Lia gunakan untuk merendam bakso goreng dan pangsit
gorengnya. Lia kemudian meracik mangkuk mie nya dengan tambahan jeruk dan
sambal, tanpa kecap. Saya dan Lia tidak begitu suka kecap, entah kenapa,
menurut kami, kadang kecap merusak cita rasa sambal yang kami gunakan. Berbeda
dari Lia dan Tika, saya meracik makanan saya dengan hanya menuangkan bebera
sendok kuah pada mie, dengan tujuan agar mie nya tidak terlalu kering, kemudian
meracik kuah dengan tambahan jeruk dan sambal, merendam bakso goreng dan
pangsit goreng di sana. Mie saya juga hanya mendapat sentuhan sambal yang
banyak dan sepotong jeruk. Kadang teman-teman saya menegur saya makan sambel
pakai mie, bukan makan mie pakai sambel, mungkin karena terlalu banyak sambel
di makanan saya. Saya memang pecinta pedas.
Kebiasaan kami yang
lainnya, ketika perut tidak begitu lapar, maka kami akan makan bersama cerita.
Beda halnya ketika perut kami sangat kelaparan dengan cacing yang sudah berdemo
di dalamnya, kami hanya bisa makan dalam diam, menikmati santapan kami masing-masing,
tanpa memperdulikan satu sama lain.
Perut kami pun
terpuaskan. Seperti biasa, karena sangat kekenyangan, kami tidak sanggup untuk
langsung berdiri meninggalkan tempat itu. Duduklah kami berlama-lama disana,
sambil menceritkan banyak hal, mulai dari tugas kuliah, curhat-curhatan, sampai
ngomongin hal yang tidak penting. Keajaiban dari wanita itu, ketika mereka
berkumpul, mereka mampu menciptakan banyak hal untuk menjadi topik pembicaran,
dari a ke z, ke b, c, d, ke a lagi, ke w, ke y, ke z, ke a lagi, dan begitulah
kami, sampai kadang tidak mengenal waktu.
“Eh, ini warung makan
loh, bukan warkop, bukan kafe juga”
“Iya, tapi kita
seenaknya saja nongkrong cerita disini berlama-lama”
“Nda masalah juga,
selama kita nda mengganggu, lagian ndada orang lain yang ngantri nungguin kita
buat makan disini kan?”
“Iya juga sih”
Kebiasaan kami yang
lain, ketika selesai makan, dimanapun itu, sangat jarang ke kasir rame-rame,
pasti ada satu orang dari kami yang jadi kasir ditempat dan bertugas untuk
membayar di kasir sebenarnya, walaupun sebenarnya kita bayar pakai uang
masing-masing. Lia pake uang dua puluh ribu, saya uang lima puluh, tika juga
uang lima puluh. Karena uang saya dan uang tika sama-sama uang lima puluh, maka
uang Lia saya berikan ke Tika, jadi Tika bayar untuk dua orang dan saya bayar
sendiri. Entah karena kekenyangan atau mungkin mulai ngantuk, atau efek
kelelahan, uang Lia yang saya berikan ke Tika, tiba-tiba hilang. Mulailah kami
ricuh meributkan uang dua puluh ribu itu. Tika bersikeras menyatakan tidak
menerima uang dua puluh ribuan dari saya, sedang saya bersikeras menyatakan
sudah menyerahkan dua puluh ribuan itu ke Tika. Lia pun ikut ribut, menyatakan
uang dua puluh ribuannya sudah diserahkan ke saya. Karena ribut dan ricuhnya
kami dengan uang dua puluh ribu itu, pemilik warung dan pelayan di warung itu
jadi memperhatikan kami. Mungkin di benak mereka mulai berbicara...
“Dasar, sudah makannya kelamaan, nongkrong kelamaan, bikin ribut lagi”
Saking ribut dan
ricuhnya kami, kami sampai tidak sadar dengan pelanggan lain yang ternyata
sedari tadi sudah memperhatikan kami. Berisiknya kami bukan hanya karena kami
adu mulut sambil duduk di tempat, tapi kami berdiri, ngutak-ngatik sana sini,
sambil tetap ngotot-ngototan. Ya, persahabatan kadang butuh emosi yang
meluap-luap di dalamnya. Sampai pada akhirnya lembaran dua puluh ribuan itu
ditemukan dibawah meja kaki Tika. Barulah kami diam, barulah kami sadar dengan
situasi, barulah kami sadar dengan mata-mata yang sedari tadi menatap kami
penuh bincang dalam benak-benak mereka. Dan akhirnya kami tertawa lepas, lebih
tepatnya tertawa dengan rasa yang campur aduk, malu iya, konyol iya, ribet iya.
Kami pun segera menyelesaikan pembayaran di kasir yang sedari tadi sudah
menunggu kami membayar, yang mungkin dibenaknya sudah muncul “korban cuci piring”.
Sepanjang perjalanan,
kami pun menertawakan diri kami sendiri, menertawakan kekonyolan yang baru saja
kami buat tanpa sengaja. Mungkin ini bukan kekonyolan pertama yang kami buat
ditengan umum. Mungkin bukan kebodohan pertama yang kami perlihatkan kepada
orang banyak. Tapi itulah persahabatan, kadang kita butuh hal bodoh, hal
konyol, hal yang tidak masuk akal, untuk bisa kita ingat, untuk bisa kita
kenang nantinya, seperti peristiwa yang satu ini, kami menyebutnya “tragedi dua
puluh ribu”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar