Minggu, 12 Oktober 2014

Tragedi Dua Puluh Ribu


Tragedi Dua Puluh Ribu
Kembali, kami kembali menuju ke kampus dua. Kampus dua bukan berarti kampus kedua tempat kami kuliah. Kampus kedua lebih tepatnya tempat nongkrong kami selepas kampus, atau sekedar pengisi waktu ketika kuliah kami pagi-sore. Jeda waktu yang cukup lama dari jam sepuluh pagi sampe jam tiga sore, bolehlah kami manfaatkan untuk menjauh dari kampus sejenak. Kami tidak memanfaatkan waktu itu untuk pulang ke rumah karena jarak rumah kami yang lumayan jauh dari kampus, jika kami pulang ke rumah, maka waktu akan habis dimakan perjalanan.
Hari itu kami putuskan untuk menuju kampus dua. Mall yang jaraknya lumayan dekat dari kampus kami, sudah ditetapkan sebagai kampus dua oleh pendahulu-pendahulu kami. Kami pun menyatakannya demikian. Kuliah kami dimulai jam delapan pagi dan berakhir jam sepuluh pagi, kemudian kuliah selanjutnya baru akan dimulai pukul tiga sore nanti. Memanfaatkan jeda waktu yang panjang itu, maka yang ada dibenak kami hanya kampus dua.
Mendengar tempat nongkrong kami, mungkin sebagian orang akan menganggap kami sebagai orang yang suka hura-hura atau jenis orang yang boros, tapi sesungguhnya kami tidak seperti itu, bahkan bisa dibilang kami sedikit perhitungan untuk masalah keuangan.
“Kuliah sudah selesai, tapi masih ada jam 3 sore nanti”
“iya, nda mungkin kan kita balik ke rumah dulu, capek di jalan nantinya”
“So? Ngampus dua?”
“Hmmmm, boleh lah, daripada nongkrong nda jelas di kampus”
“Memangnya ada tempat nongkrong di kampus?”
“Tuh, gazebo, atau kantin”
“Gazebo? Bentar lagi penuh dengan asap rokok. Betah lama-lama penuh asap rokok? Kantin? Mau diusir? Banyak yang ngantri mau makan di sana nanti, emangnya cuma kamu aja yang mau makan di sana”
“Ya sudahlah, kita ke kampus dua saja”
“Baiklah, let’s go!!!”
Akhirnya kami menuju kampus dua. Rencana di kampus dua, belum ada. Kami jenis orang yang malas merencanakan perjalanan, karena ketika kami merencanakan perjalanan, lebih banyak tidak jadinya daripada jadinya. Masih pagi, masih sepi, mall baru buka, kami jadi penghuni yang masih bisa dihitung pake jari tangan kamu, kamu, kamu, dan kamu. Mungkin.
“Ok, kita mau kemana sekarang?”
“Hmmm, pergi makan, tapi masih pagi, belum lapar”
“Gimana kalo kita ke toko buku saja dulu, lumayan, bisa baca komik gratis”
“Bolehlah, sambil nunggu perut keroncongan”
Menujulah kami ke toko buku yang kala itu masih sepi. Lia, sahabat yang baru akrab ketika kami berada pada fakultas yang sama, jurusan yang sama dan kelas yang sama. Kami sudah berteman sejak SMA, tapi baru akrab ketika berada dibangku kuliah. Wajarlah, dia dulu berada di kelas IPA sedangkan saya IPS, jadi kami tidak begitu akrab dulu. Lia pecinta komik. Lia bisa menghabiskan waktu berjam-jam uuntuk membaca beberapa komik dan sinopsis komik (kalau waktunya sedikit) dan membeli lima sampai sepuluh komik kalau sudah nginjakin kakinya di toko buku. Di rumahnya, Lia punya lemari khusus untuk menyimpan puluhan atau mungkin ratusan komiknya. Kadang Lia bahkan tidak sadar membeli komik yang sudah ada dalam lemari ajaibnya itu. Mungkin karena terlalu banyak membeli komik dalam satu waktu dan tidak sempat membaca semuanya, kadang ada beberapa komik yang bahkan sama sekali belum pernah dibacanya, makanya kadang Lia beli kembaran komik yang sudah dikoleksinya.
Setibanya di toko buku, seperti biasa Lia langsung menuju ke stand komik. Tika, sahabat yang paling sering ngajak saya jalan juga ngikut, bukan ngikut, lebih tepatnya, Tika yang ngajakin kita nongkrong di kampus dua. Tika juga pecinta komik, tapi tidak semaniak Lia, saya pun demikian. Ada keuntungan buat kami dengan kebiasaan Lia mengoleksi komik, setelah Lia baca komiknya, kami boleh meminjamnya. Setiap datang ke rumahnya, isi lemari ajaibnya yang me-nina bobo kan kami. Ya, kami bahkan tidur bersama komik. Kami langsung diam membisu membaca dalam hati, berkonsentrasi dengan bacaan kami masing-masing. Padahal itu hanya komik.
Setelah hampir satu setengah jam kami membaca, perut kami mulai keroncongan, tapi tetap saja, komik terasa lebih menarik daripada makan kala itu. Dua jam berlalu, cacing di perut kami mulai demo. Akhirnya dengan sangat terpaksa dan tanpa kerelaan hati, mulailah kami melangkah meninggalkan toko buku, tapi tidak lupa, Lia tinggal sejenak di kasir membayar lima komik yang berhasil menghipnotis dirinya untuk membawa komik itu masuk ke lemari ajaibya.
“Makan dimana?”
“Pertanyaan pertama, bukan makan dimana, perjelas dulu kita mau makan apa?”
Kami jenis orang yang agak ribet saat menjelang jam makan siang, kadang butuh waktu berjam-jam untuk bisa menentukan jenis makanan yang akan kami makan dan tempat makan yang akan kami tuju.
“Ok, kita mau makan apa?”
“Hmmm, makan apa ya? Empek-empek? Mie ayam? Soto?”
“Hmmm, kalo’ ada ainul, pasti K*C... hahahaha...”
“Mie ayam jamur saja, tempat biasa, kenyang dengan rasa bintang lima dan harga kaki lima, gimana?”
“Iya..iya..disitu saja, sudah lama juga nda makan di sana”
Menujulah kami ke tempat makan yang biasa, bukan resto, bukan di food court juga, bukan cafe, lebih mirip warung kecil di tengah megahnya mall. Entah kenapa sejak kami makan di sana pertama kali, tempat duduk kami selalu sama, di posisi yang sama. Saat kami baru datang, warungnya selalu sepi, bahkan tidak ada pengunjung, tapi begitu kami duduk menunggu pesanan, pelanggan yang lain mulai berdatangan. Mungkin bisa dibilang kami keberuntungan untuk warung itu. Narsis mode on.
Seperti biasa, dari beberapa menu yang tersedia di sana, kami selalu hanya memesan satu jenis menu yang sama “mie ayam jamur”. Bahkan pelayan di sana mungkin mulai hafal dengan wajah dan pesanan kami. Mie ayam jamurnya tersedia dalam porsi besar, hanya dengan membayar lima belas ribu rupiah seporsi, kami sudah bisa kekenyangan. Mie ayam jamur dibuat terpisah dengan kuahnya, diberi sayuran, potongan ayam dan jamur yang dimasak kecap, di tambah pangsit goreng dan bakso goreng yang ketika direndam di kuah dan digigit, tengahnya mengeluarkan sensasi “nyeess”, seperti apa ya menjelaskannya, ditengahnya itu seperti ada isian yang lembut, yang entah apa itu, mirip mayo, tapi bukan mayo. Silahkan dicoba sendiri jika penasaran.
Akhirnya pesanan kami datang. Kami pun mulai meracik makanan masing-masing. Walaupun jenis pesanan kami sama, tapi cara kami menikmati makanan itu berbeda-beda. Tika meracik makanannya dengan menuangkan semua kuahnya ke mangkuk mie, kemudian mencampurnya dengan menambahkan jeruk, kecap, dan setitik sambal. Maklum, tika tidak tahan dengan sambal, sedikit saja sambal yang digunakannya berlebih, dia langsung kepedisan. Lia hanya menuangkan setengah mangkuk kuahnya ke mangkuk mie, setengahnya lagi Lia gunakan untuk merendam bakso goreng dan pangsit gorengnya. Lia kemudian meracik mangkuk mie nya dengan tambahan jeruk dan sambal, tanpa kecap. Saya dan Lia tidak begitu suka kecap, entah kenapa, menurut kami, kadang kecap merusak cita rasa sambal yang kami gunakan. Berbeda dari Lia dan Tika, saya meracik makanan saya dengan hanya menuangkan bebera sendok kuah pada mie, dengan tujuan agar mie nya tidak terlalu kering, kemudian meracik kuah dengan tambahan jeruk dan sambal, merendam bakso goreng dan pangsit goreng di sana. Mie saya juga hanya mendapat sentuhan sambal yang banyak dan sepotong jeruk. Kadang teman-teman saya menegur saya makan sambel pakai mie, bukan makan mie pakai sambel, mungkin karena terlalu banyak sambel di makanan saya. Saya memang pecinta pedas.
Kebiasaan kami yang lainnya, ketika perut tidak begitu lapar, maka kami akan makan bersama cerita. Beda halnya ketika perut kami sangat kelaparan dengan cacing yang sudah berdemo di dalamnya, kami hanya bisa makan dalam diam, menikmati santapan kami masing-masing, tanpa memperdulikan satu sama lain.
Perut kami pun terpuaskan. Seperti biasa, karena sangat kekenyangan, kami tidak sanggup untuk langsung berdiri meninggalkan tempat itu. Duduklah kami berlama-lama disana, sambil menceritkan banyak hal, mulai dari tugas kuliah, curhat-curhatan, sampai ngomongin hal yang tidak penting. Keajaiban dari wanita itu, ketika mereka berkumpul, mereka mampu menciptakan banyak hal untuk menjadi topik pembicaran, dari a ke z, ke b, c, d, ke a lagi, ke w, ke y, ke z, ke a lagi, dan begitulah kami, sampai kadang tidak mengenal waktu.
“Eh, ini warung makan loh, bukan warkop, bukan kafe juga”
“Iya, tapi kita seenaknya saja nongkrong cerita disini berlama-lama”
“Nda masalah juga, selama kita nda mengganggu, lagian ndada orang lain yang ngantri nungguin kita buat makan disini kan?”
“Iya juga sih”
Kebiasaan kami yang lain, ketika selesai makan, dimanapun itu, sangat jarang ke kasir rame-rame, pasti ada satu orang dari kami yang jadi kasir ditempat dan bertugas untuk membayar di kasir sebenarnya, walaupun sebenarnya kita bayar pakai uang masing-masing. Lia pake uang dua puluh ribu, saya uang lima puluh, tika juga uang lima puluh. Karena uang saya dan uang tika sama-sama uang lima puluh, maka uang Lia saya berikan ke Tika, jadi Tika bayar untuk dua orang dan saya bayar sendiri. Entah karena kekenyangan atau mungkin mulai ngantuk, atau efek kelelahan, uang Lia yang saya berikan ke Tika, tiba-tiba hilang. Mulailah kami ricuh meributkan uang dua puluh ribu itu. Tika bersikeras menyatakan tidak menerima uang dua puluh ribuan dari saya, sedang saya bersikeras menyatakan sudah menyerahkan dua puluh ribuan itu ke Tika. Lia pun ikut ribut, menyatakan uang dua puluh ribuannya sudah diserahkan ke saya. Karena ribut dan ricuhnya kami dengan uang dua puluh ribu itu, pemilik warung dan pelayan di warung itu jadi memperhatikan kami. Mungkin di benak mereka mulai berbicara...
Dasar, sudah makannya kelamaan, nongkrong kelamaan, bikin ribut lagi
Saking ribut dan ricuhnya kami, kami sampai tidak sadar dengan pelanggan lain yang ternyata sedari tadi sudah memperhatikan kami. Berisiknya kami bukan hanya karena kami adu mulut sambil duduk di tempat, tapi kami berdiri, ngutak-ngatik sana sini, sambil tetap ngotot-ngototan. Ya, persahabatan kadang butuh emosi yang meluap-luap di dalamnya. Sampai pada akhirnya lembaran dua puluh ribuan itu ditemukan dibawah meja kaki Tika. Barulah kami diam, barulah kami sadar dengan situasi, barulah kami sadar dengan mata-mata yang sedari tadi menatap kami penuh bincang dalam benak-benak mereka. Dan akhirnya kami tertawa lepas, lebih tepatnya tertawa dengan rasa yang campur aduk, malu iya, konyol iya, ribet iya. Kami pun segera menyelesaikan pembayaran di kasir yang sedari tadi sudah menunggu kami membayar, yang mungkin dibenaknya sudah muncul “korban cuci piring”.
Sepanjang perjalanan, kami pun menertawakan diri kami sendiri, menertawakan kekonyolan yang baru saja kami buat tanpa sengaja. Mungkin ini bukan kekonyolan pertama yang kami buat ditengan umum. Mungkin bukan kebodohan pertama yang kami perlihatkan kepada orang banyak. Tapi itulah persahabatan, kadang kita butuh hal bodoh, hal konyol, hal yang tidak masuk akal, untuk bisa kita ingat, untuk bisa kita kenang nantinya, seperti peristiwa yang satu ini, kami menyebutnya “tragedi dua puluh ribu”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar